Living in the moment
Dalam beberapa minggu terakhir aku bercerita tentang penyesalanku memilih untuk pindah ke Jerman. Aku telah mengakhiri fase ini.
Dalam beberapa minggu terakhir aku bercerita tentang keluh kesahku memilih untuk pindah ke Jerman.
Aku sudah punya rutinitas, komunitas, dan hidup yang cukup stabil di Jepang dan aku mengatakan selamat tinggal kepada semua itu.
Beberapa minggu pertama di Jerman terasa pahit. Hari-hariku di luar kelas diisi oleh kekosongan. Aku selalu membanding-bandingkan kenyataanku saat ini dengan masa laluku yang tampak lebih indah.
Otak kita selalu mencari informasi untuk membenarkan apa yang sudah dipercayainya saat ini (confirmation bias) - dan aku meyakini bahwa kehidupanku sebelumnya lebih baik dari segala aspek.
Aku pingin kembali. Aku terdaftar untuk program 1 tahun di Jerman. Aku menyesal dan ingin memotong durasi programku supaya bisa pulang lebih dulu.
Aku menghabiskan cukup banyak waktu melihat kembali foto dan videoku di arsip Instagram. Aku sempet nge-reshare beberapa. Di kepalaku aku berpikir alangkah indahnya kalau ada temenku yang ngelihat dan memvalidasi perasaanku saat ini. Bahwa, ya, kehidupanku kemarin lebih baik. Lalu, keputuskanku untuk pindah ke Jerman salah.
Tiba-tiba…
(notif)
“mau bitter truth nggak”
DM ini datang dari roommate-ku di Jepang. Aku agak deg-degan di momen ini.
Apa yang akan dikatakan? Bitter truth seperti apa yang mungkin keluar? Apakah kehidupan di sana lebih baik sejak aku pergi?
“Dulu gw sempet lewat fase kayak lu setelah gw keluar dari asrama. Gw sampe bela-belain pulang (dari Jepang) buat ketemu temen-temen lama gue lagi dan ternyata yang gw sadari adalah…”
Sewaktu SMA temenku tinggal di asrama sekolah dan pindah ke Jepang untuk kuliah.
”Ternyata, segimanapun lu maksain, kalau momennya udah lewat ya berarti momennya udah lewat. Lu bisa meromantisasi pertemanan lu lah, apa lah… Tapi pas lu paksain untuk kembali semuanya udah beda. Bisa jadi yang lu cari ngga ada.”
Semester terakhirku sebelum meninggalkan Jepang terasa lebih berwarna. Mungkin karena aku tau akan pergi cukup lama, banyak inisiatif pertemanan yang kuambil di semester ini. Ketika aku pergi, aku serasa pergi di titik puncak. Tidaklah bisa lebih baik daripada ini.
“Makanya sekarang gw di Jepang gak semesti karena gue betah. Tapi, gw memutuskan untuk live in the moment."
Wow. Kayaknya ini yang harus aku denger.
"They lose the day in expectation of the night, and the night in fear of the dawn." – Seneca
Itu masalahku.
Aset kita yang paling berharga adalah waktu. Aku menyia-nyiakan aset ini.
Keinginan besarku untuk bisa kabur dari masa kini untuk bisa hidup seperti dulu, mengejar suatu “what might be” - telah merampas waktu, kesempatan, dan kebahagiaan yang seharusnya bisa kunikmati hari ini. Padahal, belum tentu kalau segera kembali aku bakal merasakan kebahagiaan yang sama. Mungkin, momen-momen dalam hidup terasa spesial karena kenyataan bahwa pada suatu titik mereka akan berakhir. Kalau kita tau bahwa kita bisa kembali setiap saat, aku ragu rasa spesial itu akan tetap ada.
Aku udah baca banyak buku kayak Happy, The Things You Can See Only When You Slow Down, Mengheningkan Cinta. Tema yang kerap kali muncul pada buku-buku solutif ini: hiduplah di masa kini.
Aku lupa tentang semua itu.
Aku telah memilih untuk hidup di masa lalu yang kuagung-agungkan atau masa depan yang kuandai-andaikan.
Oke, aku sudah menyadari masalahku. Apa yang akan berubah?
Sejak menerima insight krusial yang diawali oleh DM itu, ketika aku menemukan diriku mengeluh tentang ketidaknyamanan hari ini dan membandingkannya dengan hidupku di masa lalu - aku katakan kepada diriku “Hiduplah di masa kini.” Ketika aku ingin hari ini cepat selesai untuk segera hidup di masa depan yang ‘lebih indah’ - aku katakan kepada diriku “Hiduplah di masa kini.”
Hari berikutnya, aku langsung potong rambut. Ini jadi pernyataan bahwa sekarang kita sudah masuk chapter baru.
Aku juga mulai menghias kamarku - membuatnya terasa semakin seperti rumah.
Aku juga telah berkomitmen terhadap lebih banyak hal, mengambil lebih banyak tanggung jawab.
Semester ini, aku mengambil SKS terbanyak selama kehidupan akademikku dan bulan Mei nanti akan memulai internship di perusahaan Jerman.
Aku putuskan - sesuai rencana awal, aku akan menyelesaikan 1 tahunku di rumah baru ini.
Salam,
Zahid